Kata seorang sahabat, dendam itu salah satu punca terbesar bagi pelbagai jenis penyakit.
Dendam bukan saja menghimpit rasa dan emosi; ia juga mengganggu imbangan hormon dan tekanan darah. Lalu melemahkan sistem perlindungan tubuh dari serangan bermacam-macam kuman dan virus.
Saya fikir, pesan sahabat itu adalah satu hikmah dan pedoman yang tepat.
I consider myself lucky. Because when I was younger and still naive, I was blessed with the golden opportunity to acquire this elusive skill — the ability to forgive, to forget and to move on with life. Quite easily.
Sewaktu umur 12 tahun, saya dihantar ke sekolah asrama di utara Semenanjung. Kembara ini menjarakkan saya dari keluarga, secara fizikal dan mental. Ini era 1980-an dulu. Belum ada internet dan handphone. Jika sempat, sesekali boleh juga cari telefon awam.
Tapi public phone tidak sepintar smartphone. You don’t always get the timing right — between you there and your family at home. And it was also ridiculously expensive. So, akhirnya terpaksa juga guna surat sebagai kaedah komunikasi paling affordable. Cuma cara ini ambil masa berminggu-minggu untuk saling berinteraksi.
Di rantau orang, saya hadapi bermacam bentuk cabaran. Yang paling tipikal, jurang sosiobudaya. Saya selalu diejek kawan-kawan dan dibuli pelajar senior kerana wujud “kelainan” ini. Terutama sekali dari segi dialek percakapan.
Yes, people tend to pick on you when you are different. Lagipun mereka tau, hujung minggu nanti, ibubapa saya tidak akan datang melawat. Maka, sudah tentu saya tidak boleh mengadu pada sesiapa. Tapi situasi inilah yang membina satu karektor baru dalam diri saya.
Because I knew I was all alone, I learnt to fight for myself. I refused to suffer in silence. It made me mentally tougher, and I would stand up for anything against my values. Dari seorang anak kampung yang pemalu, saya bertukar jadi budak ganas bermulut puaka. There were many times I got into trouble because of this. Senior memang cepat berbulu dengan bebudak baru nak up, yang suka melawan secara terbuka.
Tapi ironinya — k̷e̷c̷e̷l̷u̷p̷a̷r̷a̷n̷ keberanian saya bangkit bersuara dan menyanggah apa-apa yang difikir tidak betul, telah mengajar saya menjadi seorang yang pemaaf dan bukan pendendam. Kerana saya temui cara terbaik melepaskan api dalam jiwa; maka, lebih senang untuk saya berdamai dengan diri sendiri dan melupakan luka lama.
Selalunya bebudak yang dibuli teruk ketika mula-mula masuk asrama, akan jadi pembuli yang lebih brutal bila sudah senior. That is usually the case. But seriously, I never developed that twisted character.
Bahkan, saya jadi senior contoh, yang budiman dan melindungi junior. Haha. Bukan mau puji diri. But honestly, I was never a bully at school and university. NEVER ever, in my life. Despite all those bitter and painful experiences I had endured.
Being angry over something is perfectly normal for any human being. But we should never hold our grudge longer than it should be. We must find a way to release it. Because it would only consume our positive energy and stop us from fulfilling our own potential.
Perlu ingat juga. Maaf adalah kunci kepada banyak pintu rezeki. Bila dapat membebaskan diri daripada rasa benci, Tuhan akan melepaskan untuk kita seribu peluang yang tidak terduga.
Just because someone did something bad to you; it does not mean you have to do the same to that someone or others. Revenge is a vicious cycle. Kita boleh memilih: SAMA ADA menjadi cangkuk yang mengukuhkan lagi rantai itu, ATAU menjadi pahat yang memutuskan gelung itu daripada terus berantai.
Express yourself STRONGLY, if you must. But don’t let your terrible experiences define who you should become. The choice is yours. Be wise.
Cerita ini pertama kali dikongsikan di Facebook Rem Dambul
Dendam bukan saja menghimpit rasa dan emosi; ia juga mengganggu imbangan hormon dan tekanan darah. Lalu melemahkan sistem perlindungan tubuh dari serangan bermacam-macam kuman dan virus.
Saya fikir, pesan sahabat itu adalah satu hikmah dan pedoman yang tepat.
I consider myself lucky. Because when I was younger and still naive, I was blessed with the golden opportunity to acquire this elusive skill — the ability to forgive, to forget and to move on with life. Quite easily.
Sewaktu umur 12 tahun, saya dihantar ke sekolah asrama di utara Semenanjung. Kembara ini menjarakkan saya dari keluarga, secara fizikal dan mental. Ini era 1980-an dulu. Belum ada internet dan handphone. Jika sempat, sesekali boleh juga cari telefon awam.
Tapi public phone tidak sepintar smartphone. You don’t always get the timing right — between you there and your family at home. And it was also ridiculously expensive. So, akhirnya terpaksa juga guna surat sebagai kaedah komunikasi paling affordable. Cuma cara ini ambil masa berminggu-minggu untuk saling berinteraksi.
Di rantau orang, saya hadapi bermacam bentuk cabaran. Yang paling tipikal, jurang sosiobudaya. Saya selalu diejek kawan-kawan dan dibuli pelajar senior kerana wujud “kelainan” ini. Terutama sekali dari segi dialek percakapan.
Yes, people tend to pick on you when you are different. Lagipun mereka tau, hujung minggu nanti, ibubapa saya tidak akan datang melawat. Maka, sudah tentu saya tidak boleh mengadu pada sesiapa. Tapi situasi inilah yang membina satu karektor baru dalam diri saya.
Because I knew I was all alone, I learnt to fight for myself. I refused to suffer in silence. It made me mentally tougher, and I would stand up for anything against my values. Dari seorang anak kampung yang pemalu, saya bertukar jadi budak ganas bermulut puaka. There were many times I got into trouble because of this. Senior memang cepat berbulu dengan bebudak baru nak up, yang suka melawan secara terbuka.
Tapi ironinya — k̷e̷c̷e̷l̷u̷p̷a̷r̷a̷n̷ keberanian saya bangkit bersuara dan menyanggah apa-apa yang difikir tidak betul, telah mengajar saya menjadi seorang yang pemaaf dan bukan pendendam. Kerana saya temui cara terbaik melepaskan api dalam jiwa; maka, lebih senang untuk saya berdamai dengan diri sendiri dan melupakan luka lama.
Selalunya bebudak yang dibuli teruk ketika mula-mula masuk asrama, akan jadi pembuli yang lebih brutal bila sudah senior. That is usually the case. But seriously, I never developed that twisted character.
Bahkan, saya jadi senior contoh, yang budiman dan melindungi junior. Haha. Bukan mau puji diri. But honestly, I was never a bully at school and university. NEVER ever, in my life. Despite all those bitter and painful experiences I had endured.
Being angry over something is perfectly normal for any human being. But we should never hold our grudge longer than it should be. We must find a way to release it. Because it would only consume our positive energy and stop us from fulfilling our own potential.
Perlu ingat juga. Maaf adalah kunci kepada banyak pintu rezeki. Bila dapat membebaskan diri daripada rasa benci, Tuhan akan melepaskan untuk kita seribu peluang yang tidak terduga.
Just because someone did something bad to you; it does not mean you have to do the same to that someone or others. Revenge is a vicious cycle. Kita boleh memilih: SAMA ADA menjadi cangkuk yang mengukuhkan lagi rantai itu, ATAU menjadi pahat yang memutuskan gelung itu daripada terus berantai.
Express yourself STRONGLY, if you must. But don’t let your terrible experiences define who you should become. The choice is yours. Be wise.
Cerita ini pertama kali dikongsikan di Facebook Rem Dambul
related posts
Inspirasi
Julai 23, 2019
0
Ulasan
Catat Ulasan